Selasa, 29 Desember 2015

Jodoh yang Ditolak






“Kita hanya bersenang-senang bukan?”
“Yah..!”
Embun jatuh di daun cempedak. Kawanan tupai sedang berpesta di ranting-ranting yang menjinjing buah hampir ranun. Buah itu habis setengah. Seokor tupai jantan sengaja menyisakannya. Ia membutuhkan tenaga untuk sebuah pesta yang sebenarnya. Brak! Sofia terbangun. Ia menjulurkan pandangan ke daun jendela. Di sebelah gubuk di pinggir sawah itu, ia menemukan suara ranting patah. Seekor tupai jantan terjatuh ketika mengejar betinanya.

***

“Kurang ajar! Kau nodai anakku!” teriak Ayah membelalakkan matanya. Lelaki yang baru saja pensiun dari pekerjaan sebagai pegawai rendahan di kantor keluruhan itu masih kuat mengangkat kepal tangannya. Ia hendak melayangkan kepalan tangan itu ke arah Rian. Tapi, Sofia mencegahnya.
“Sudah, sudah, Ayah! Tak perlu marah-marah,” sergah Sofia melindungi Rian dengan tubuhnya. Sofia bukannya iba ketika Rian yang menjadi pelampiasan amarah ayahnya. Ia hanya khawatir dengan penyakit darah tinggi yang diderita sang ayah. Kalau darah tingginya naik, itu bisa menjalar ke jantung. Kalau jantungnya berdetak kencang, stroke ringan lelaki itu bisa kambung lagi. Sofia tak bisa melihat lelaki yang berwibawa di masa mudanya itu tiba-tiba seperti anak kecil karena serangan stroke.
“Kau harus bertanggung jawab!” teriak Ayah lagi dengan menurunkan volume suaranya.
Rian duduk membeku. Wajah lelaki itu seperti kehabisan darah. Jari-jarinya digerakkan ke arah yang tak beraturan. Sesekali, jari-jari menyeka keringat dingin yang bercucuran di keningnya. “Ba, baiklah! Tapi, saya harus bilang ayah-ibu dulu,” balas Rian kikuk.
Sofia menatap serius. Ia mendekat ke arah Rian. “Hm...Kamu yakin?”
Rian mengangguk. Anggukkan itu berhasil mengubah tatapan lelaki paruh baya di hadapannya. Sofia memegang pundak ayahnya. Pegangan itu memberikan isyarat agar sang ayah meninggalkannya berbicara berdua saja dengan Rian. Sofia terus menatap ayahnya hingga hilang di ruang belakang. Padagannya kemudian dialihkan ke arah Rian. Lelaki itu berubah gemetaran.
“Kok, jadinya seperti ini, Sof?” ujar Rian dengan wajah kecut.
Sofia kaget dengan perubahan air muka Rian. Namun, ia mencoba menyembunyikan keterkejutannya. “Keyakinanmu hilang lagi,” balas Sofia datar.
Rian bangkit. Ia berjalan ke ujung kursi, kemudian kembali lagi. Tiga kali dilakukannya, hingga ia terduduk dengan keras. Nafasnya ditarik dalam-dalam. Rian kembali bertanya setelah padangannya lepas dari langit-langit ruang depan. “Kita kan melakukannya suka sama suka. Mengapa kini kamu memintaku bertanggung jawab?”
Sofia menatap laki-laki gelisah di hadapannya dengan mengernyitkan kening. “Aku tak pernah memintamu bertanggung jawab,” balas Sofia.
“Tapi, ayahmu!”
“Tentang ayahku, itu urusan ayahku. Kamu bisa menolaknya.”
“Hah, gila! Bagaimana aku bisa menolaknya. Kamu lihat sendiri kan. Ayahmu hampir saja membunuhku.”
“Tidak ada yang akan membunuhmu. Asal kamu tahu, jangankan membunuh orang, membunuh kecoa saja ayahku tak tega.”
Rian terdiam. Ia menatap Sofia dalam-dalam. Lewat tatapan itu, ia hendak menyampaikan rasa penyesalan. “Seharusnya kita tak melakukannya...” ujar Rian dengan nada bersalah.
Sofia malah membelalakkan matanya. “Saya tidak menyesal!” balas perempuan itu singkat.
Rian tersentak. Ia merasa kelaki-lakiannya ditampar dengan telak. Lelaki itu mencoba menyelamatkan sisa-sisa wibawa yang ada pada dirinya. “Begini saja, kita akan menikah,” ujar Rian tiba-tiba memotong ucapannya. “Tapi, tunggulah sampai kita tamat kuliah.”
Sofia membalasnya dengan senyum dingin. Perempuan itu sibuk memperhatikan jemarinya memainkan gelang perak yang bergelantung di pergelangan tangan kirinya.
“Hei, aku masih kuliah. Aku belum punya pekerjaan,” ujar Rian meyakinkan dirinya. Sofia malah menatap langit-langit rumahnya. Rian terus mencoba meyakinkan dirinya. “Oke, kita akan menikah. Secepatnya!”
“Kamu tinggal memintaku kepada ayahku,” ujar Sofia membalas.
Rian terdiam. Muka lelaki itu langsung berubah. Tiba-tiba suasana bisu menyelimuti ruangan itu. Tak ada suara. Hanya desiran angin di luar. Lambat-laun, desirannya semakin kencang. Prak, prak, prak! Atap seng di ruang belakang yang lupa dirapikan tadi siang bergocang karena terpaan desiran angin. Sepertinya hujan mau turun.



“Jalanmu adalah pilihan yang terbaik. Kamu harus berbangga hati atas pilihan itu, Ingat, seruang di rumah gadang ini tetaplah milikmu. Walaupun itu bukan sebuah alasan untuk membuatmu datang, kamu harus tetap menerimanya.”

MANDEH sendiri di atas tanah kaumnya. Di ranah yang mengagungkan perempuan, jalan hidupnya tak seindah untai kata pepatah-petitih. Sejak muda, Mandeh menghadapi hidup yang getir. Dalam keluarga besar, tapi bebannya tak terhilangkan. Ia menanggung tanggung jawab yang teramat besar.
Duka-gulana mengajarkan Mandeh menjadi perempuan yang kuat. Di usia tuanya, Mandeh harus menerima kesendirian di rumah gadang. Zaman telah berubah, musim ganti-berlalu, Mandeh tetap harus menjadi limpapah di rumah gadangnya. Banyak hadang, banyak cela, sengketa tanah pusaka, Mandeh harus menghadapinya.

Jumat, 27 November 2015